Tuesday, November 22, 2016

Belajar dari Jepang Menangani Gempa

Belajar dari Jepang Menangani Gempa

Frekuensi gempa di Jepang, juga jadi tantangan di Indonesia.





Gempa kembali menghantam Fukushima, prefektur di daerah utara Jepang, dengan kekuatan 7,3 skala Richter, Senin, 21 November 2016, pukul 05.59 waktu setempat. 
Saking besarnya kekuatan guncangan, getarannya terasa hingga ke Tokyo, ibu kota Jepang, yang berjarak 239 kilometer. Hampir sama dengan jarak Jakarta ke Brebes, Jawa Tengah.
Sebagaimana dikutip dari RT, Japan Meteorogical Agency, lembaga meteorologi negara itu, melaporkan, tiga jam setelah gempa menghantam, tsunami setinggi 1,4 meter dilaporkan terlihat di Sendai, Prefektur Miyagi.
Selain itu, di Pelabuhan Soma dengan ketinggian 90 sentimeter, serta di Ishinomaki Ayukawa dan Pelabuhan Kuji yang mencapai 80 sentimeter. Tsunami yang tercipta tak menciptakan dampak serius, karena gelombang air yang datang dari laut itu tak sampai membanjiri kawasan penduduk.
Peristiwa ini mengingatkan kembali dengan gempa bumi yang menghantam kawasan itu, pada 11 Maret 2011. Kala itu, gempa bumi mengguncang dengan kekuatan 9,0 skala Richter. Menciptakan gelombang tsunami setinggi 10 meter.
Dampaknya, Japanese National Police Agency mengonfirmasi 15.269 tewas, 5.363 luka, dan 8.526 hilang di enam prefektur.
Tsunami 1,4 Meter Terlihat Setelah Gempa Jepang
Paling mengerikan adalah rusaknya sistem pendingin di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima, sehingga menciptakan radiasi yang mengontaminasi laut, tanah, dan udara. Pemerintah pun mengeluarkan status darurat, dan ratusan ribu penduduk terpaksa dievakuasi.
Mengantisipasi peristiwa itu, pembangkit listrik dan reaktor nuklir yang berada di pantai langsung dimatikan, untuk meminimalisasi sebaran radiasi ke air dan udara. 
Tokyo Electric Power sebagai perusahaan yang mengoperasikan PLTN itu menyatakan, belum ada kerusakan berarti di pembangkit listrik akibat gempa. Namun, untuk sementara waktu, daerah terdampak belum bisa menggunakan energi listrik.
Perusahaan ini juga mengumumkan kondisi reaktor di PLTN Fukushima dalam kondisi aman. Sistem pendinginan reaktor yang sempat terhenti karena gempa, dipastikan bisa beroperasi.
Nasib Warga Indonesia
Wakil Duta Besar Republik Indonesia di Tokyo, Jepang, Ricky Suhendar, memastikan 3.700 warga Indonesia yang tinggal di empat wilayah terdampak, aman.
"Ada empat wilayah yang terkena gempa dan tsunami. Yaitu Prefektur Miyagi, Prefektur Fukushima, Prefektur Aomori, dan Prefektur Chiba. Semua WNI yang tinggal di sana dipastikan selamat dan tidak ada yang terluka," kata Ricky, saat berbincang dengan tvOne, Selasa, 22 November 2016.
Meski semua WNI selamat, KBRI Tokyo tetap mewaspadai gempa susulan. Sebab, Jepang memang dikenal sering diterpa gempa bumi. Negara ini memiliki area yang aktif secara seismik karena banyaknya zona subduksi atau tumbukan lempeng bumi. 
Menurut Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Mochammad Riyadi, dengan guncangan kuat ini, diperkirakan dampak gempa bumi dapat menimbulkan kerusakan
bangunan tingkat sedang. 
"Gempa bumi Fukushima-Koriyama yang terjadi saat ini merupakan jenis gempa bumi dangkal di zona subduksi. Dalam hal ini, zona subduksi Lempeng Pasifik menyusup ke bawah Lempeng Okhotsk," ujar Riyadi melalui siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Selasa, 22 November 2016.
Riyadi menjelaskan, Pacific Tsunami Warning Center yang berpusat di Hawaii melaporkan, gempa bumi telah memicu terjadinya tsunami lokal di sekitar pusat gempa. 
"Berdasarkan analisis dan modelling tsunami yang dilakukan oleh BMKG, menunjukkan bahwa tsunami yang terjadi tidak akan berdampak di wilayah Indonesia," tutur Riyadi.
Untuk itu, BMKG mengingatkan warga yang tinggal di pesisir pantai Samudera Pasifik, agar tetap tenang dan tidak terpancing isu.
Tsunami 1,4 Meter Terlihat Setelah Gempa Jepang
Mirip di Indonesia
Frekuensi gempa bumi yang terjadi di 'Negeri Sakura' ini, sesungguhnya juga menjadi tantangan di Indonesia. Sama-sama sebagai negara kepulauan, Indonesia juga punya banyak zona subduksi, sehingga potensi terjadinya gempa bumi juga kerap menerpa.
Bedanya, saat terjadi gempa bumi besar di Jepang, jumlah korban jiwa bisa diminimalisasi. Sementara itu, bagi Indonesia, jumlah korban jiwa kerap sebanding dengan kekuatan gempa. Jika besar, jumlah korban dipastikan banyak.
Jika melihat catatan sejarah, sejak gempa bumi mengguncang Aceh dengan kekuatan 9,1-9,3 skala Richter pada 26 Desember 2004, setiap tahun terjadi gempa bumi dengan kekuatan besar di Indonesia.
Setelah Aceh, pada 28 Maret 2005, gempa bumi terjadi di Nias dengan kekuatan 8,7 skala Richter. Kemudian, pada 27 Mei 2006, giliran Yogyakarta diguncang gempa bumi dangkal berkekuatan 5,9 pada skala Richter.
Lalu, pada 12 September 2007, gempa berkekuatan 7,9 skala Richter menerpa pesisir barat Padang dan Bengkulu. Peristiwa ini juga dikenal dengan Gempa Nias.
Gempa kemudian terjadi pada 16 November 2008 di pesisir utara Sulawesi dengan kekuatan 7,5 skala Richter. Kemudian, gempa 7,3 skala Richter di Tasikmalaya pada 2 September 2009.
Pada 2010, tepatnya 25 Oktober, gempa 7,7 skala Richter terjadi di Kepulauan Mentawai. Lalu, di tahun-tahun berikutnya gempa bumi terus terjadi dengan frekuensi yang terus meningkat.
Menurut pakar geofisika dan vulkanolog, Surono, Indonesia sejak dulu memang menjadi langganan gempa bumi. Hal ini juga terlihat dari budaya dan gaya arsitektur bangunan masyarakat setempat, yang umumnya menggunakan rumah panggung.
"Itu rumah yang tahan terhadap gempa bumi, karena tiangnya menjadi satu kesatuan," ucap Surono saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa, 22 November 2016.
Maka, jika mau belajar mengenai mitigasi bencana, kata Surono, Indonesia tinggal belajar dari sejarah dan budaya leluhur bangsa. Tak perlu menengok jauh ke Jepang, karena tak ada negara mana pun yang punya pengalaman menghadapi bencana.
"Saya lebih berani belajar dengan Indonesia. Indonesia mitigasi bencana sejak nenek moyang sudah ada," ujar dia.
Persoalannya, leluhur tak pernah menuliskan sejarah mereka mengenai pengalaman terhadap bencana alam. Semua itu diwariskan melalui kesenian, baik kidung, dongeng, maupun cerita rakyat lainnya.
Surono mengungkapkan kelemahan program mitigasi bencana di Indonesia, sehingga jumlah korban sulit diminimalisasi. Sementara itu, Jepang, sangat sukses. "Jepang itu masyarakatnya mau dilatih, kuncinya di sana," tuturnya.
Saat masih menjadi kepala Badan Geologi, Surono pernah membuat Program Mitigasi Bencana Tanpa Dasi dan Roti. Program ini diselenggarakan sekitar 2007 untuk masyarakat sekitar Gunung Merapi, sebagai langkah antisipasi karena ada potensi gunung itu akan meletus.
Makna tanpa dasi adalah Surono hadir di depan masyarakat meninggalkan formalitasnya sebagai pejabat negara. Sementara itu, tanpa roti, mereka disediakan makanan yang biasa disantap warga.
Situasi ini diciptakan untuk membuat suasana nyaman dan menghilangkan sekat formal, yang selama ini dia nilai justru menghambat penyuluhan.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Geologi, Surono
"Makan apa yang ada di situ, bukan roti, dan saya tidak perlu pakai dasi. Di situ lebih efektif karena mereka tahu saya tidak sedang ceramah. Saya coba meluruskan dari pertanyaan, duduk enggak pakai kursi, lesehan, makan apa adanya, itu lebih kena," ungkapnya.
Sebagai bencana alam, gempa bumi tak bisa diprediksi kedatangannya. Manusia juga tak punya teknologi untuk mencegahnya terjadi, sehingga peluang terbaik mengurangi dampak bencana adalah dengan menyukseskan program mitigasi. 
"Masalahnya gempa bumi tidak bisa di-engineering (rancang), yang saya harus engineer adalah masyarakatnya," ucap Surono.
Di situ, dia lihat perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan Jepang. Sikap itu menghasilkan perbedaan signifikan untuk memperbesar harapan hidup saat terjadinya bencana alam.
Surono mengatakan, kemajuan teknologi tak punya arti, jika masyarakatnya tak memiliki kesadaran terhadap mitigasi bencana. Dia mencontohkan, salah satu keberhasilan program mitigasi bencana di Indonesia, adalah ketika Merapi meletus.
Akibat kesigapan aparat ditambah program mitigasi yang dijalankan secara meluas, dari sekitar satu juta penduduk yang hidup di kaki gunung itu, korban tewas hanya sekitar 350 orang.
Kala itu, masyarakat bersedia dievakuasi karena sudah memahami bahaya bencana. Di sisi lain, Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur DI Yogyakarta, juga mendukung penuh langkah pemerintah. Perpaduan ini menciptakan iklim yang baik untuk mitigasi bencana.
"Kematian itu Tuhan yang menentukan, tapi jangan menyerah. Bahwa akhirnya bencana itu adalah takdir, tapi kita sebagai manusia punya akal dan pikiran, agar kita bisa rekayasa, berdamai dengan alamnya," ujar Surono.
Beda Indonesia dengan Jepang
Hal senada diungkapkan Sutopo Purwo Nugroho, kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kata dia, penyadaran masyarakat menjadi titik vital dari program mitigasi. Sementara itu, kemajuan teknologi, menjadi penunjang.
Sejauh ini, dia menilai, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap bahaya bencana alam masih rendah. Kesimpulan kasar ini, dia lihat dari beragam perilaku masyarakat saat daerahnya dinyatakan siaga bencana. 
Banyak sekali di lapangan ditemukan masyarakat yang kerap mengabaikan imbauan aparat mengenai radius bencana. Selain itu, masyarakat kerap merusak peralatan yang disediakan sebagai alat pengamatan atau peringatan bencana.
"Budaya sadar bencana itu masih sangat kecil, itu yang menyebabkan sensor early warning system hilang, seismograf di Sinabung hilang, peralatan banjir banyak yang hilang, peringatan dini tsunami juga hilang. Ada vandalisme oleh oknum," kata Sutopo.
Padahal, semua alat itu disediakan pemerintah agar warga sekitar lokasi rawan bencana, bisa mendapatkan kesempatan dan harapan hidup jika terjadi bencana alam.
Pada tingkat kebijakan, pemerintah daerah kerap mengabaikan lokasi yang sudah ditetapkan sebagai daerah rawan bencana. Alhasil, banyak daerah resapan air ataupun rawan longsor, justru menjadi permukiman penduduk.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
Pemerintah juga sampai sekarang belum punya peta tata ruang yang menunjukkan daerah rawan bencana, sehingga daerah itu mestinya menjadi zona terlarang untuk permukiman penduduk.
Kata Sutopo, di situ lah perbedaan mencolok antara Indonesia dengan Jepang. Tatkala bencana alam menghampiri, sikap itu yang membuat Jepang bisa menyelamatkan lebih banyak warganya.
"Kalau di sana semua peraturan ditaati, dilaksanakan dengan tepat. Kita (Indonesia) masih dilanggar," ujar Sutopo saat dihubungi VIVA.do.id, Selasa, 22 November 2016.
Selain itu, pemerintah di Jepang kerap memberikan latihan dan simulasi pada warga, mengenai situasi bencana alam. Semua itu dilakukan secara rutin, minimal setahun sekali.
Hal ini dilakukan tak hanya pada orang dewasa, tapi juga anak-anak yang ada di sekolah. "Di kota-kota mereka juga selalu dibangun museum bencana, sebagai peringatan," tuturnya.
Paling mencolok adalah keinginan politik dari pemerintah Jepang dalam melihat bencana, dibandingkan Indonesia. Berdasarkan anggaran, "Mereka rata-rata satu persen dari anggaran negara diberikan untuk bencana. Di kita sekitar 0,02 sampai 0,07 persen dari total APBD," ujar Sutopo.
Hal ini membuat Jepang bisa memutakhirkan teknologi peringatan bencana mereka. Tak hanya itu, anggaran yang banyak ini juga bisa dialokasikan untuk mengembangkan penelitian. 
Hasil penelitian teknologi yang dikembangkan pun langsung diterapkan, tak hanya menjadi bahan kajian untuk ilmu pengetahuan. "Kalau mereka antara penelitian-penelitian langsung dilaksanakan juga. Jadi kepentingan antara riset dan industri itu dipakai. Di kita (Indonesia) ada penelitian masih sebatas menara gading. Gimana mau menerapkan anggaran saja tidak punya," ucapnya.

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

No comments:

Post a Comment