Wednesday, November 23, 2016

'Suul Adab', Foto KH Ma’ruf, dan Berkah Ilmu Bagi yang Paham

‘’Suul adab!’’ Satu kalimat yang berati tak punya abad alias berperilaku buruk atau tidak tahu sopan santun itu sangat dihindari bagi seorang santri dan kalangan kaum Nahdliyin. Mereka sangat sangat membenci sikap itu karena mengisyaratkan kepongahan kepada seorang guru, ulama, yang mereka yakini sepenuhnya  bila tanpa restunya setinggi apa pun ilmu yang dipunyai tak akan memberikan keberkahan bagi dirinya, apalagi bagi sesama manusia dan alam raya.







Rais Am PBNU KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Effendy Yusuf sedang melakukan hormat kepada bendera merah putih pada acara penutupan Kirab Resolusi Jihad NU, dalam ran



Bagi yang pernah ‘nyantri’ sebelum belajar kitab kuning, mereka pasti diharuskan sebuah kitab kecil dan tipis tentang petunjuk sekaligus tata cara seseorang ketika mencari ilmu:kitab Ta'lim Muta'allim karya Syaikh Burhanuddin Az Zanurji. Kitab ini mengajarkan tentang etika dan metode bagi pelajar untuk meraih keberkahan. Di situ ada pembahasan mengenai niat lurus, memilih guru menganggungkan ilmu dan ahlinya, belajar tekun dan musyawarah, belajar di perantauan dan menanggung kesusahan yang dialami,    hingga bekerja dan berdoa agat berkecukupan

Di bagian awal kitab ini misalnya para pencari ilmu akan diberi pemahaman  mengenai salah satu ajaran Islam yang penting sekaligus mendasar bahwa setiap Muslim maupun Muslimah wajib mencari ilmu. Dan dibagian berikutnya kitab ini juga member arahan bagaimana cara bersikap seorang santri terhadap ilmu yang tengah dan akan dipelajarinya.






Pada bagian lain di dalam  kitab itu dijuga diberi arahan mengenai perilaku seorang santri terhadap gurunya, atau kiayinya. Bagaimana dia bertutur kata, berperilaku, hingga menyayomi sekaligus melindungi si sumber ilmu, yakni sang kyai. Tak lupa pula ditunjukan bagaimana seorang santri harus bersikap dengan keluarga kyai, kerabat, bahkan sesame santri lainnya.

Pendek kata; kyai adalah sumber keberkahan dari gerbang-gerbang ilmu serta taburan hikmah kehidupan. Mereka menyakini gurunya adalah tak hanya hanya seorang juru pandu bagi kehidupan dunia, tapi juga di bawa mati sampai alam akhirat.

Bagi orang di luar santri, sikap itu mungkin bisa disebut fatalis: menjadi pengikut tanpa reverse. Namun sesungguhnya tidak sama sekali! Para santri jelas tidak buta hati, buta mata, buta telinga atas sosok ulamanya. Maka tak heran kalau para kyai zuhud akan menjadi acuan. Para santri memandang menjadi ulama tak cukup hanya pintar saja, tapi seorang berperilaku hampir sempurna sebagai seorang panutan hidup di dunia dan kelak di akhirat.

Pengasuh Pondok Pesantren Raudlathut Tholibin Rembang, KH Yahya Cholil Staquf, misalnya, dalam banyak pengajiannya baik secara langsung maupun yang tersebar di laman Youtube, berulangkali menjelaskan apa risiko santri yang ‘suul adab’. Mungkin dia pintar tapi ‘hujah’-nya tak akan mempan atau bisa menjadi pembimbing umat.

Maka tak heran bila dia pun member tahu apa dan bagaimana cara mencari seorang ulama untuk dijadikan guru. Katanya: Carilah guru yang punya sanad sampai ke Rasulullah! Nasihat ini sepintas sederhana namun menjadi ‘maha penting’ sebab menandaskan bahwa ajaran yang akan diterima oleh seorang santri itu punya tali temali yang kuat dengan para ulama sebelumnya yang ilmu dan akhlaknya tersambung terus sampai ke periode sahabat hingga baginda Rasul SAW.

‘’Seorang ulama tak hanya bertanggung jawab hingga di dunia, tapi juga bertanggung jawab hingga ke alam akhirat. Tak hanya di depan manusia, pemimpin atau penguasa, tapi harus siap bertanggungjawab di depan Allah Swt,’’ kata Gus Yahya dalam suatu pengajian yang bisa dinikmati di laman Youtube.

Gus Yahya kemudian mencontohkan bagaimana sikap KH Bisri Mustofa yang berkata kepada santrinya bila kelak meningal dunia dan harus berhadap dengan malaikat Munkar Nakir.’’Sudah katakan saja ini rombongannya Kiai Bisri, Sudah katakan itu. Saya tanggung jawab,’’ begitu Gus Yahya mencontohkan sikap KH Bisri Mustofa.

Nah, bila hari-hari ini kemudian tersebar di viral media sosial mengenai foto pernikahan KH Ma’ruf Amin, bagi semua santri itu jelas sangat menyakitkan. Si pengunggah, seorang pengamat politik sekaligus Komisaris BUMN, boleh saja berpikiran itu sekedar khilaf saja (karena salah memencet tombol  telepon selularnya), tapi bagaimanapun tetap terbaca sebuah jejak tentang sikap pejoratif terhadap sosok KH Ma’ruf.




Mengapa demikian? Bagi kalangan Nahdliyin sosok Kiai yang menjadi pengasuh pondok Pesantren An Nawawi di Tanara, Banten, ini mempunyai tempat khusus dan terhormat. Bukan karena beliau berharta atau kaya raya, tapi ke dalam ilmu dan kezuhudan sikapnya. Posisi Rois Am PB NU dan Ketua Dewan Pembina MUI sangat nyata membuktikan bila KH Ma’ruf bukan sekedar kiai biasa.
Semua pun sudah tahu, almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid sangat menghormatinya. Gus Dur selalu berkata arif dan ‘andap asor’ setiap berbicara dengan KH Ma’ruf. Dan Gus Dur pun menyatakan bahwa KH Ma’ruf Amin adalah satu-satunya ahli fiqh yang ada di Indonesia yang dihormatinya karena ketinggian ilmunya. Tak hanya itu Gus Dur pasti tahu bahwa trah (silsilah keluarga) kiai Ma’ruf bukan sembarangan. Dia adalah cicit dari ulama yang kerap disebut sebagai guru dari semua ulama yang ada di Jawa, yakni Syaikh Nawawi Al Bantani.

Maka tak aneh, bila sikap yang sama juga dilakukan oleh  Ketua Umum PB NU KH Said Aqiel Siradj. Meski bergelar doktor dengan predikat ‘suma cum lauda’ dari Universitas Umul Qura’ Makkah, Kiai Said setiap kali bertemu kH Ma’ruf selalu mencium tangannya. Dia tak melakukannya secara sembunyi-sembunyi tapi di depan umum sehingga banyak tayangan kamera merekamnya.
Kiai Said paham betul tengah bertemu dengan keturunan ulama dari Jawa yang menjadi Imam Masjidil Haram dan penulis lebih dari 50 kitab yang sampai hari ini masih dibaca oleh para santri dan penuntut ilmu agama Islam yang tersebar di Asia, Timur Tengah, hingga Afrika.

Alhasil, menjadi tak terbayangkan efek sekaligus imbas adanya sikap pejoratif terhadap ulama, dalam hal ini KH Ma’ruf Amin.

Memang di dalam alam pikiran pendidikan barat yang ‘seolah-olah’ serba ilmiah dan serba egaliter, tak ada ajaran berperilaku terhadap seorang yang berilmu. Tak ada ajaran ilmu padi seperti yang ada di dalam dunia ‘Islam Nusantara’ bahwa semakin berilmu maka semakin ‘mentes’ (bernas/rendah hati) perilakunya.

Padahal ketinggian ilmu itu tercermin dalam perilaku. Dalam ujaran pepatah Arab kualitas seseorang dilihat dari perilakunya: kualitas teko mewujud dalam air yang dikeluarkannya.

Sedangkan di dalam 'sufi Jawa' ada nasihat mengenai hubungan kausalitas antara kualitas ilmu dan perangai seseorang: Ilmu iku kelakone kanthi laku!

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

No comments:

Post a Comment