Isu makar yang ramai diembuskan jelang Aksi Bela Islam III 2 Desember 2016 mendatang mendapat tanggapan serius dari eks relawan Jokowi, Ferdinand Hutahaean.
Dalam tulisannya yang dipublish di Teropong Senayan, Senin 28 November 2016, Ferdinand mengupas habis masalah makar.
Berikut kutipan lengkap tulisan Ferdinand Hutahaean.
Dalam tulisannya yang dipublish di Teropong Senayan, Senin 28 November 2016, Ferdinand mengupas habis masalah makar.
Berikut kutipan lengkap tulisan Ferdinand Hutahaean.
Kedamaian dan Persatuan yang Tercabik
Akhir-akhir ini kedamaian dan persatuan seperti makin tercabik, tersayat dan terluka oleh sebuah tindakan pelanggaran hukum yang kemudian dicoba diselesaikan dengan cara-cara diluar hukum, sehingga menyakiti rasa keadilan masyarakat dan membangkitkan semangat perlawanan atas sebuah ketidak adilan terlebih menyangkut permasalahan aqidah agama yang tingkat sensivitasnya sangat tinggi.
Masalah yang terjadi sekarang ini bukanlah masalah yang sesungguhnya tidak bisa dicegah terjadi. Namun penanganan dan observasi yang salah telah menjadikan penyelesaian masalah penegakan hukum ini juga menjadi salah. Pelanggaran hukum yang semestinya direspon solusinya dengan penegakan hukum yang berkeadilan, sama terhadap semua orang dan tidak diskriminatif adalah merupakan langkah pencegahan sehingga masalah seperti sekarang tidak perlu terjadi. Andai tersangka Ahok ditahan, sama dengan para pelaku penodaan agama lainnya, maka dapat dipastikan semua kegaduhan yang makin menjadi ini tercegah.
Pemutarbalikan Opini
Derasnya arus medsos yang bekerja bagai mesin penghancur dan pembunuh bekerja 24 jam tanpa henti. Para buzzer politik gentayangan siap menghancurkan atau merusak nama baik siapa saja, siap bekerja memutar balikkan kebenaran faktual menjadi opini pembenaran atas sebuah kesalahan. Kebenaran diputar balikkan, kesalahan diopinikan sebagai kebenaran.
Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan Ahok atas pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama dibalik opininya menjadi sebuah ancaman kebhinnekaan. Ketika jutaan umat Islam merasa dinistakan agamanya turun ke jalan menuntut penegakan hukum, malah dituduh sebagai kaum intoleran, kaum radikal, ancaman kepada kebhinnekaan, pemecah belah bangsa dan bahkan dituduh makar. Sungguh kekerasan verbal terjadi melalui kata-kata yang diucapkan pejabat pemerintah kepada rakyatnya, yang kemudian direkayasa oleh para buzzer politik di medsos untuk semakin menyudutkan umat Islam para penuntut penegakan hukum tersebut.
Ahok Bukan Simbol Kebhinnekaan
Pertanyaannya yang kemudian muncul adalah, apakah atas nama kebhinnekaan dan toleransi seseorang boleh menistakan agama lain? Tentu jawabannya tidak. Saya yakin setan dan kaum iblis pun pasti akan menjawab tidak. Maka dengan itu, jangan pernah identikkan Ahok sebagai simbol kebhinnekaan, Ahok bukan simbol toleransi. Tapi Ahok saat ini adalah terduga pelaku penistaan agama yang sudah dijadikan tersangka oleh Polri dan seharusnya ditahan mengingat kasus ini bukan lagi kasus biasa karena sudah mengganggu jutaan umat Islam.
Publik harus paham tentang kebhinnekaan itu apa sesungguhnya. Menjaga dan merawat kebhinnekaan itu adalah salah satunya dengan tidak membiarkan atau bahkan mendukung seorang penista agama bebas berkeliaran tanpa penegakan hukum. Penista agama juga tidak layak jadi pemimpin, karena penista agama itulah yang merusak kebhinnekaan, mencabik kedamaian dan menghancurkan persatuan.
Makar Kepada Negara
Indonesia adalah negara majemuk, negara yang heterogen, bahkan negara super kemajemukan. Dimuka bumi ini, Indonesialah satu-satunya negara yang luas dengan kemajemukan luar biasa, bertahan dan bersatu menjadi sebuah negara meski ada riak-riak kecil diujung barat dan ujung timur dengan isu kemerdekaan. Indonesialah satu-satunya negara besar yang tidak ingin dipecah belah karena diikat para leluhur pendiri bangsa dengan simbol Bhineka Tunggal Ika.
Perusakan terhadap kebhinnekaan itu sekarang terjadi. Bahkan sikap pemerintah yang patut diduga atau cenderung berpihak kepada Ahok sang tersangka penodaan agama adalah sesungguhnya sikap yang merusak kebhinnekaan. Tidak dapat dibantah, bahwa siapapun penista agama, adalah perusak kebhinnekaan. Perusak kebhinnekaan itulah sesungguhnya adalah pelaku makar terhadap negara. Disebut makar terhadap negara adalah karena merusak kebinekaan sama saja menghancurkan persatuan Indonesia, karena sangat mungkin tuntutan lepas dari NKRI akan berkumandang disetiap pulau.
Ikatan bangsa yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang rusak tentu tidak akan dapat lagi menjaga persatuan bangsa. Dan tentu ini akan berdampak pada pecahnya NKRI. Inikah yang diinginkan para elit bangsa ini dengan terus menerus membiarkan pebista agama bebas ?
Tuduhan Makar Pada Pemerintah Yang Sah
Pernyataan Kapolri tentang adanya upaya makar terhadap pemerintah yang sah beberapa saat lalu sangatlah tidak tepat diucapkan, terlebih seolah tuduhan itu ditujukan kepada Aksi Bela Islam ke 3 yang direncanakan tanggal 2 Desember 2016. Rakyat sipil tanpa senjata sangat tidak mungkin bisa melakukan makar kepada pemerintah.
Tahun 1965, ada isu kudeta kepada Presiden Soekarno yang akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. Akhirnya terjadilah penculikan kepada Jenderal yang dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal oleh PKI. Hingga kini peristiwa tersebut belum menunjukkan kebenaran sejati karena banyak fakta dibelokkan atau ditutupi.
Mengapa isu itu kita angkat dalam tulisan ini adalah untuk mencari perbandingan kesamaan situasi. Jangan-jangan isu makar itu adalah ciptaan isu atau false inteligent untuk kemudian menjadi pembenaran bagi para peniup isunya untuk bertindak lebih represif atau bahkan melakukan makar para diri sendiri.
Kembalikan Kedamaian Bangsa
Aksi 212 nanti bukanlah perbuatan makar. Aksi Bela Islam 212 adalah hak konstitusional anak bangsa sepanjang memenuhi semua ketentuan sebagaimana diatur dalam UU. Saya percaya aksi ini adalah panggilan hati para umat Islam untuk menegakkan aqidahnya.
Apapun itu, Presiden Jokowi sebagai pemimpin bangsa saat ini harus bekerja lebih keras mengembalikan kedamaian yang tercabik, mengembalikan persatuan yang mulai terganggu. Presiden segera melakukan evaluasi internal tentang penangan masalah ini. Presiden boleh merevisi langkahnya, boleh mengubah keputusannya dan tentu boleh memperbaiki kesalahan. Masalah penistaan ini harus segera diselesaikan dengan solusi hukum yang memenuhi rasa keadilan publik.
No comments:
Post a Comment