Pada abad 19, imigran dari Hadramaut, Yaman, mulai berdatangan ke Nusantara seiring dibukanya Terusan Suez dan pelayaran dengan kapal uap dan mesin. Karena beragama Islam, mereka cepat berbaur dengan masyarakat setempat dan menikahi perempuan pribumi.
Dalam masa senggang, terutama malam hari, sambil bersenang-senang mereka bermain gambus. Dalam perkembangannya, orkes ini sangat diminati bukan saja oleh keturunan Arab, melainkan berbagai etnis. Lalu, terbentuklah perkumpulan orkes gambus, terutama di kampung Arab.
Begitu cepat populernya, gambus menjadi orkes pengiring pada pesta-pesta perkawinan. Para pemain gambus duduk bersila pada tikar permadani yang sekaligus menjadi arena bagi pemuda menari zapin, kesenian yang hingga kini masih terus berkembang. Sekarang ini, para wanita, termasuk ibu-ibu, turut menari zapin.
Gambus makin dikenal dan digemari ketika pada awal 1950-an RRI membuat siaran tetap orkes gambus. Musisi gambus paling kesohor, di antaranya Syech Albar. Musisi kelahiran Surabaya pada 1908 ini merupakan ayah penyanyi rock Ahmad Albar dan kakek Fachri Albar. Pada 1935, suaranya direkam dalam piringan hitam His Masters Voice. Petikan gambusnya tidak hanya digemari di Indonesia, tapi negara-negara Arab.
Pada masa itu, orkes gambus ber munculan di Kampung Arab Pekojan, Jakarta. Selain itu, juga di kampung-kampung Arab di Makassar, Palembang, Banjarmasin, dan Gorontalo.
Di Jakarta, lagu irama padang pasir mulai diselingi lagu berirama Melayu yang didominasi irama harmonium, pimpinan SM Alaydrus, seorang pemuda kaya yang wafat di Singapura. Pendamping Alaydrus di antaranya Husein Bawafie. Anak Tanah Abang yang memotori lagu berirama dangdut melalui Orkes Chandralela.
No comments:
Post a Comment